Dapurremaja.com | Pendidikan
Marsaria Primadonna, Ketua Kampus Guru Cikal, mengkritisi kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengenai program sekolah barak militer untuk murid dengan tingkah laku menantang.
Guru sekaligus aktivis pendidikan tersebut menegaskan, pendidikan bukan tentang menundukkan tapi menumbuhkan.
“Kami di Kampus Guru Cikal percaya perubahan karakter yang sejati lahir dari relasi yang aman, bukan rasa takut,” katanya.
Pima, sapaan akrabnya, menyayangkan kebijakan yang mengabaikan latar belakang, emosi, dan kebutuhan murid ini. Anak yang tindakannya menantang seringkali karena tak pernah didengarkan.
Perlu pendekatan holistik untuk melihat murid secara utuh; siapa mereka, dari mana mereka data, dan apa yang sedang mereka alami. Cara ini bukan jalan cepat tapi perubahan yang lebih kuat karena lahir dari pemahaman bukan tekanan.
“Mungkin yang dilihat sekarang murid terlihat berubah, tapi mereka berhenti karena sadar atau takut? Kalau cuma takut nggak akan tahan lama. Tapi kalau anak merasa dimengerti dan diajak mikir, itu perubahan yang bisa bertahan,” jelas Pima.
Menurutnya, program seperti ini perlu dikaji lebih dalam. Jangan jadikan anak-anak kita kelinci percobaan militeristik. Bukan hanya soal hasil cepat, tapi dampaknya dalam jangka panjang.
“Karena dalam dunia pendidikan, yang kita bangun bukan hanya perilaku hari ini-tapi masa depan anak-anak kita,” ungkap Pima
Penolakan juga datang dari Suryadi, guru di Depok sekaligus anggota Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN). Menurutnya, kebijakan tersebut memberikan tekanan pada murid dan tidak akan menghasilkan kualitas pendidikan yang dicitakan.
Suryadi mengaku juga pernah frustasi menghadapi tingkah laku murid yang menantang. Namun, ia mencoba menghadapinya dengan pendekatan yang humanis, seperti empati, komunikasi yang efektif, tetapkan batasan yang jelas, cari solusi bersama, termasuk berkolaborasi dengan orangtua.
“Saya berbicara dengan murid secara pribadi, mendengarkan apa yang dia katakan, dan mencoba untuk memahami perspektifnya. Saya juga mencoba untuk menemukan cara untuk membuat dia merasa lebih terlibat dalam proses pembelajaran,” terangnya.
Perubahan signifikan terjadi meskipun membutuhkan waktu. Murid yang dihadapinya lebih taat pada kesepakatan kelas, mau mengerjakan tugas, bahkan bersosialisasi dengan baik di kelas.
“Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa setiap murid memiliki kebutuhan dan masalah yang unik, dan bahwa dengan pendekatan yang tepat, kita dapat membantu mereka untuk tumbuh dan berkembang,” kata Suryadi.
Pendekatan yang sama juga dilakukan oleh Iwan Ardhie, Pengembang SMP Muhammadiyah 9 Kabupaten Bandung. Puluhan tahun mengajar memberikannya pengalaman bertemu dengan berbagai latar belakang murid.
“Saya memakai prinsip, ‘didiklah murid sebaik-baiknya perlakuan’. Seperti apa pun kelakuannya saya sabar. Pernah ada murid yang menjengkelkan, beberapa tahun setelah lulus berpapasan di luar sekolah, dia mencium tangan saya,” kenang Iwan.
Ia pun mengaku kurang setuju dengan kebijakan menyerahkan murid yang dianggap bermasalah ke barak. Pasalnya tidak ada bukti empiris serta kajian yang menyebutkan mendidik dengan pendekatan militer bisa lebih baik dari di sekolah.
“Kalaupun nanti terbukti menjadi lebih baik, apakah itu artinya telah terjadi perubahan kesadaran atau hanya sekedar perubahan sesaat saja?” tukas Iwan.
Menurut Iwan, bagi sekolah, kebijakan ini sebenarnya harus jadi refleksi. Mengapa sekolah seakan tidak dipercaya atau seakan disebut gagal dalam mendidik murid? Dan perlu pemahaman bagi pembuat kebijakan kalau mendidik adalah proses, tidak bisa instan.
Alih-alih pendekatan militer, Iwan mendukung adanya peningkatan kualitas guru, diantaranya kompetensi berempati dan berkomunikasi dengan murid.
“Dengan demikian, lingkungan sekolah yang kondusif bagi pertumbuhan murid dapat tercipta,” pungkasnya. (Yosinta – Guru Foundation)