Wacana Pembatasan WhatsApp Call Dikritik, Akademisi Unusia: Jangan Tambah Beban Rakyat

Supiyadi Ahmad
PT. MEDIA DAPUR REMAJA - Informasi Iklan dan Media Partner: 081290802946
Handy Fernandy, Dosen Sistem Informasi Unusia. Foto: dok.

Dapurremaja.com| Jakarta 

Wacana Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk mengkaji pembatasan akses layanan Voice over IP (VoIP) seperti WhatsApp Call agar hanya tersedia melalui paket internet premium menuai kritik dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Handy Fernandy.

Wacana ini muncul setelah beberapa organisasi, seperti Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), menyuarakan kekhawatiran soal ketidakseimbangan antara penyedia layanan over-the-top (OTT) seperti WhatsApp dan operator jaringan seluler. Mereka menganggap layanan OTT telah memanfaatkan infrastruktur jaringan yang dibangun operator tanpa memberikan kontribusi yang sepadan.

Meski Komdigi menyatakan masih berada dalam tahap kajian awal dan belum mengambil keputusan resmi, isu ini telah menimbulkan respons luas dari publik dan pengamat teknologi. Apalagi isunya adalah adanya ide untuk memberikan tarif baru.

Menurut Handy Fernandy, Dosen Sistem Informasi Unusia, pemerintah seharusnya berperan sebagai pelindung masyarakat, bukan justru membebani mereka dengan tarif baru.

“Pada situasi ekonomi yang sulit saat ini, penting bagi pemerintah untuk lebih peka. Jangan menambah beban rakyat, terutama dalam hal biaya akses teknologi informasi seperti internet,” ujarnya saat dimintai keterangan, Kamis (7/8/2025).

Handy yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Kota Depok menilai bahwa Komdigi seharusnya lebih fokus pada pemerataan akses teknologi, bukan pembatasan.

“Sudah lebih dari 80 tahun Indonesia merdeka, tapi akses internet masih timpang. Masyarakat di daerah terpencil masih kesulitan mendapatkan jaringan yang layak. Ini seharusnya menjadi prioritas Komdigi,” tegasnya.

Lebih jauh, ia juga menyoroti tantangan keamanan siber yang belum tertangani serius. Maraknya penipuan digital, pinjaman online ilegal (pinjol), dan judi online (judol) menurutnya justru menjadi ancaman nyata bagi masyarakat.

“Hampir setiap hari kita dengar kabar orang jadi korban kejahatan digital. Tapi sejauh ini belum terlihat langkah konkret dari pemerintah dalam memberantas kejahatan siber secara menyeluruh,” pungkasnya.

Wacana penyesuaian layanan VoIP ini dinilai berpotensi menciptakan jurang digital yang semakin dalam, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang selama ini bergantung pada layanan komunikasi daring gratis. Sejumlah lembaga advokasi konsumen juga mendesak Komdigi untuk mengedepankan kepentingan publik dalam menyusun kebijakan digital nasional.(***)

Editor: Supiyadi Ahmad

Quick Link

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses