Dapurremaja.com | Depok
Ketua Perisai Syarikat Islam Kota Depok, Muhammad Djody Satriani, menyampaikan keprihatinannya terhadap rendahnya kepedulian generasi muda terhadap organisasi kepemudaan, isu sosial-politik, dan literasi di kalangan pelajar. Hal ini ia kaitkan dengan ketimpangan jumlah sekolah negeri dan lambannya respon pemerintah terhadap pertumbuhan penduduk.
Djody menyoroti bahwa hingga saat ini Kota Depok hanya memiliki 33 SMP Negeri dan 16 SMA Negeri untuk melayani puluhan ribu siswa dari 63 kelurahan. Ketimpangan ini, menurutnya, telah menimbulkan ketidakadilan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) karena sistem zonasi tidak merata.
“Banyak siswa dari wilayah seperti Bojongsari, Sawangan, atau Tapos harus bersaing ketat atau bahkan tersingkir hanya karena jumlah sekolah negeri tidak mencukupi di sekitar mereka,” ujarnya saat ditemui usai diskusi kepemudaan di Beji, Sabtu (3/5/2025).
Ia menilai bahwa krisis kepemudaan yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari minimnya akses pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Rendahnya literasi, apatisme terhadap politik, serta stagnasi organisasi pemuda menurutnya adalah dampak dari ketidakadilan sistemik yang belum ditangani serius.
Djody mengutip pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed bahwa pendidikan seharusnya membebaskan manusia. Ia juga mengacu pada Karl Mannheim yang menyebut pemuda sebagai agen perubahan sosial dalam teori generasi yang terkenal itu.
“Sayangnya, potensi besar pemuda Depok tidak dibina secara sistematis. Banyak dari mereka kehilangan arah karena tidak punya ruang aktualisasi, baik di sekolah maupun di lingkungan,” tambahnya.
Ia mendorong Pemerintah Kota Depok untuk menambah jumlah sekolah negeri, terutama di tingkat SMA, serta memperbaiki sistem zonasi agar lebih adil dan merata. Tak hanya itu, Djody juga menekankan pentingnya menghidupkan kembali peran organisasi kepemudaan sebagai katalisator pembangunan karakter dan daya kritis anak muda.
“Kalau sekolah belum bisa hadir di semua tempat, maka biarkan organisasi pemuda hadir lebih dulu, menjadi ruang belajar, berdiskusi, dan membangun kesadaran kolektif,” tutupnya.
