Menata Ulang Arah Pembangunan Kota Depok : Dari Kota Transit Menuju Kota Peradaban

Penulis : Chikal Akmalul Fauzi - Ketua Umum PC IMM Kota Depok

drnews
By drnews
11 Min Read
PT. MEDIA DAPUR REMAJA - Informasi Iklan dan Media Partner: 081290802946
Chikal Akmalul Fauzi, Ketua Umum PC IMM Kota Depok. (Foto: Dok/Pribadi)

Dapurremaja.com | Opini

Selama dua dekade terakhir, Kota Depok mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Gedung-gedung menjulang di sepanjang Margonda, pusat-pusat perbelanjaan bermunculan, dan arus kendaraan nyaris tak pernah henti melintasi jalan-jalan utama kota.

Namun, di balik dinamika itu, muncul pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan bersama: apakah Kota Depok benar-benar sedang membangun sebuah kota, atau hanya memperluas ruang transit dari Jakarta?

Pertanyaan ini penting, karena kota bukan sekadar ruang geografis yang dipenuhi aktivitas ekonomi dan infrastruktur fisik. Kota adalah organisme sosial yang seharusnya hidup oleh nilai, budaya, partisipasi warga, dan cita-cita bersama. Pembangunan sejati bukan sekadar beton dan jalan, tetapi juga pembentukan peradaban—yakni bagaimana manusia yang tinggal di dalamnya menjadi semakin berdaya, berpengetahuan, dan beretika.

Di titik inilah, arah pembangunan Kota Depok perlu ditata ulang, agar tidak terus-menerus terjebak dalam logika “kota penyangga” yang sibuk melayani kebutuhan ibu kota, tetapi kehilangan jati diri dan karakter lokalnya sendiri.

Depok memiliki modal besar untuk menjadi kota yang maju secara intelektual, ekonomi, dan budaya. Di kota ini berdiri perguruan tinggi besar seperti Universitas Indonesia, serta sejumlah kampus swasta yang melahirkan ribuan anak muda kreatif setiap tahun. Sayangnya, potensi intelektual itu belum sepenuhnya menjadi bagian dari denyut pembangunan kota. Depok seperti hidup di antara dua wajah: wajah modern dengan fasilitas urban dan mobilitas tinggi, serta wajah sosial yang masih dibayangi kesenjangan, kemacetan, banjir, dan tata kota yang belum manusiawi.

Selama ini, pembangunan cenderung menitikberatkan pada proyek-proyek fisik seperti jalan, jembatan, trotoar, dan taman. Namun, hal itu belum diimbangi dengan investasi sosial yang memadai. Kota memang tampak tumbuh, tetapi belum sepenuhnya berkembang. Pembangunan yang beradab membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh, di mana manusia menjadi pusat perhatian. Pemerintah perlu menempatkan warga bukan sebagai objek kebijakan, melainkan sebagai subjek yang turut menentukan arah kota. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan harus menjadi prinsip utama, bukan sekadar pelengkap administratif. Ruang-ruang dialog antara pemerintah dan warga harus dibuka lebih luas, agar kebijakan yang lahir benar-benar mencerminkan aspirasi bersama.

Di sisi lain, politik lokal Kota Depok juga harus berevolusi dari sekadar arena perebutan kekuasaan menjadi ruang perumusan nilai dan gagasan. Politik kota mestinya tidak berhenti pada slogan dan janji pembangunan, melainkan hadir sebagai praksis etika publik. Pembangunan kota yang bermartabat hanya dapat tumbuh dari politik yang jujur, transparan, dan berorientasi pada pelayanan. Saat politik dijalankan dengan semangat pengabdian, maka kebijakan publik akan tumbuh dari nurani, bukan dari kepentingan elektoral jangka pendek.

Depok membutuhkan kepemimpinan yang bukan hanya mahir membangun fisik kota, tetapi juga mampu menumbuhkan kesadaran kolektif warganya untuk hidup dalam harmoni, gotong royong, dan tanggung jawab sosial.

Dalam bidang ekonomi, tantangan Depok terletak pada bagaimana mengubah struktur ekonomi konsumtif menjadi ekonomi yang produktif. Selama ini, geliat ekonomi kota bertumpu pada sektor jasa dan perdagangan konsumsi rumah tangga, sementara sektor kreatif, UMKM, dan ekonomi berbasis komunitas belum mendapatkan dukungan kebijakan yang sistematis. Padahal, Depok memiliki sumber daya manusia muda yang sangat potensial untuk mengembangkan ekonomi digital, wirausaha sosial, dan industri kreatif berbasis pengetahuan. Pemerintah daerah perlu membangun ekosistem yang kondusif bagi tumbuhnya ekonomi berbasis nilai tambah—bukan hanya menyediakan lapak, tetapi juga memperkuat jejaring, riset, dan inovasi.

Pembangunan kota yang beradab juga tak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Depok bukan ruang kosong; ia memiliki sejarah, identitas, dan karakter yang khas—berakar pada tradisi Betawi dan Sunda, serta dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam dan pendidikan. Dalam pusaran urbanisasi yang cepat, budaya lokal sering terpinggirkan oleh gaya hidup konsumtif dan homogenitas metropolitan. Karena itu, revitalisasi kebudayaan lokal perlu menjadi bagian integral dari visi pembangunan. Ruang publik yang inklusif dan sarat nilai edukatif harus diperbanyak: taman baca, galeri seni, ruang diskusi komunitas, dan festival budaya warga. Dari sanalah rasa memiliki dan kebanggaan terhadap kota bisa tumbuh.

Arah besar pembangunan Depok sejatinya harus diarahkan pada satu cita-cita: menjadi kota peradaban. Bukan kota yang sempurna, tetapi kota yang terus berproses menuju kematangan sosial—di mana pertumbuhan fisik berjalan beriringan dengan pertumbuhan moral, intelektual, dan spiritual masyarakatnya. Kota seperti ini tidak dibangun hanya dengan anggaran dan proyek, melainkan dengan visi, nilai, dan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, akademisi, pelaku ekonomi, seniman, dan masyarakat sipil harus saling terhubung untuk menjadikan Depok lebih dari sekadar tempat tinggal, melainkan ruang hidup yang bermakna.

Depok tidak boleh puas menjadi kota penyangga selamanya. Ia harus berani menulis sejarahnya sendiri sebagai kota yang mandiri dan berkarakter. Menata ulang arah pembangunan berarti menata ulang cara berpikir: dari logika pertumbuhan menuju logika keberlanjutan; dari pembangunan yang sibuk mengejar citra, menuju pembangunan yang menumbuhkan peradaban. Hanya dengan cara itu, Depok bisa benar-benar menjadi kota yang hidup oleh nilai, bukan sekadar berdiri oleh bangunan.

Menjadi kota peradaban menuntut Depok untuk memiliki arah pembangunan yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan ekologis. Kota tidak boleh terus dibangun dengan semangat kompetisi tanpa arah, seolah pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur adalah satu-satunya indikator kemajuan. Padahal, ukuran sejati dari kemajuan sebuah kota terletak pada seberapa bahagia dan berdayanya warganya. Jika pembangunan hanya menghasilkan gedung tinggi, jalan lebar, dan pusat perbelanjaan megah, namun meninggalkan ketimpangan sosial dan keterasingan budaya, maka kota tersebut sesungguhnya sedang kehilangan jiwanya.

Dalam konteks ini, Depok perlu melakukan reorientasi pembangunan menuju keseimbangan antara manusia, alam, dan kebijakan. Ruang terbuka hijau yang menyusut, kualitas udara yang memburuk, serta pengelolaan sampah yang masih menjadi pekerjaan rumah, menunjukkan bahwa pembangunan ekologis belum menjadi arus utama. Kota yang sehat adalah kota yang menyediakan oksigen bagi warganya—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara sosial: ruang untuk bernapas, berinteraksi, dan berkreasi. Setiap kebijakan pembangunan harus memperhitungkan daya dukung lingkungan dan hak generasi mendatang untuk hidup di kota yang lestari.

Lebih jauh, pembangunan Depok juga menuntut keadilan spasial dan pemerataan antarwilayah. Terlalu lama Margonda dan sekitarnya menjadi pusat perhatian pembangunan, sementara wilayah pinggiran seperti Bojongsari, Cipayung, dan Sawangan masih tertinggal dalam akses infrastruktur dan pelayanan publik. Ketimpangan ini menciptakan kesenjangan bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis—muncul perasaan “terpinggirkan” di kalangan warga yang tinggal jauh dari pusat kota. Kota peradaban tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Pemerintah perlu mengubah pola pembangunan yang sentralistik menjadi desentralistik, dan menghidupkan potensi setiap wilayah sesuai karakter sosial dan ekonomi masyarakatnya.

Di tengah derasnya arus urbanisasi, Depok juga harus memikirkan kembali makna kota layak huni. Bukan sekadar tersedianya hunian vertikal atau akses transportasi, tetapi lingkungan sosial yang aman, ramah, dan saling peduli. Tingginya individualisme, menurunnya interaksi sosial, serta munculnya berbagai bentuk intoleransi dan kekerasan sosial menjadi alarm bahwa pembangunan manusia belum seimbang dengan pembangunan fisik. Maka, diperlukan kebijakan yang mendorong rekonsolidasi sosial: memperkuat nilai-nilai gotong royong, toleransi, dan kebersamaan dalam kehidupan kota.

Kehidupan budaya juga harus menjadi roh dari pembangunan Depok ke depan. Dalam sejarahnya, Depok dikenal sebagai kota yang melahirkan banyak tokoh pendidikan, cendekiawan, dan seniman. Potensi ini seharusnya menjadi fondasi dalam membangun kota yang berkarakter dan kreatif. Pemerintah dapat mendorong program kebudayaan yang bersifat partisipatif, memberi ruang bagi seniman muda, komunitas literasi, dan pegiat budaya lokal untuk mengekspresikan diri. Festival budaya, ruang baca komunitas, teater rakyat, dan kegiatan seni jalanan bukan sekadar hiburan, melainkan sarana membangun identitas dan solidaritas sosial warga. Dari situ, peradaban kota akan menemukan nadinya—karena kota yang berbudaya adalah kota yang mampu merayakan keberagaman dan menumbuhkan rasa saling menghargai.

Sementara itu, sektor pendidikan harus menjadi jantung dari seluruh proses pembangunan. Dengan keberadaan kampus besar dan ribuan pelajar di setiap jenjang, Depok sesungguhnya memiliki kekuatan pengetahuan yang bisa menjadi fondasi bagi inovasi sosial. Pemerintah perlu membangun ekosistem yang menghubungkan dunia pendidikan dengan dunia kebijakan dan industri lokal. Mahasiswa dan akademisi tidak boleh hanya menjadi pengamat, tetapi turut dilibatkan dalam riset kebijakan, perencanaan kota, serta pemberdayaan masyarakat. Inilah bentuk nyata dari kota belajar (learning city), di mana pengetahuan bukan hanya dikurung di ruang kelas, tetapi hidup dan bekerja untuk kesejahteraan publik.

Arah pembangunan Depok yang berorientasi peradaban juga memerlukan keberanian politik untuk menolak praktik pembangunan yang instan dan transaksional. Dalam banyak kasus, pembangunan kota sering kali dikendalikan oleh logika proyek—di mana ukuran keberhasilan diukur dari serapan anggaran, bukan dari dampak sosial. Padahal, pembangunan sejati adalah proses panjang yang berakar pada nilai, kesabaran, dan keberlanjutan. Pemimpin Depok di masa depan perlu memahami bahwa membangun kota bukan hanya soal membangun sekarang, tetapi juga soal menjamin kehidupan esok. Ia harus memiliki visi yang melampaui masa jabatan dan keberanian untuk menata prioritas berdasarkan kepentingan jangka panjang warga, bukan kepentingan jangka pendek politik.

Menata ulang arah pembangunan Depok berarti mengembalikan esensi kota kepada manusianya. Kota yang baik bukan yang paling cepat tumbuh, tetapi yang paling mampu memanusiakan penghuninya. Depok, dengan sejarah, posisi strategis, dan potensi sumber daya manusianya, memiliki kesempatan besar untuk menjadi kota peradaban yang sejati—kota yang tak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga tempat tumbuhnya nilai, dialog, dan kemajuan. Dari Depok, Indonesia bisa belajar bahwa membangun kota bukan tentang memperbanyak gedung, melainkan tentang menumbuhkan kehidupan. Dan di sanalah, sejatinya, peradaban dimulai.

Penulis : Chikal Akmalul Fauzi – Ketua Umum PC IMM Kota Depok

Quick Link

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses