Dapurremaja.com | Jakarta
Diskusi dua-mingguan Nexus Tiga Krisis Planet yang diselenggarakan Lapor Iklim, CELIOS, dan Justice Coalition for Our Planet (JustCOP) menegaskan kembali bahwa proyek food estate maupun Makanan Bergizi Gratis (MBG) tidak mampu menjawab persoalan mendasar krisis pangan di Indonesia. Sebaliknya, kedua program tersebut dinilai memperdalam ketidakadilan struktural, merugikan petani kecil, serta mengancam hak masyarakat rentan, perempuan, anak, kelompok marginal, dan masyarakat adat.
Kedaulatan Pangan vs Ketahanan Pangan
Guru Besar IPB University, Prof. Dwi Andreas Santosa, menekankan bahwa kedaulatan pangan berbeda dengan ketahanan pangan. Menurutnya, ketahanan pangan bisa dicapai dengan memproduksi pangan dari manapun, tetapi kedaulatan pangan hanya mungkin terwujud jika petani memiliki kendali atas tanah, benih, dan kebijakan yang berpihak.
“Seluruh proyek food estate melanggar empat pilar utama pembangunan pangan, mulai dari kelayakan tanah hingga aspek sosial-ekonomi. Jika dipaksakan, food estate hanya akan melahirkan krisis baru,” ujarnya.
Gagal Secara Teknis dan HAM
Koordinator Nasional FIAN Indonesia, Marthin Hadiwinata, menyebut bahwa food estate bukan hanya gagal secara teknis, tetapi juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia atas pangan dan gizi.
“Sejak 2018, kasus kelaparan berulang di Papua menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kewajiban dasarnya. Hingga kini, 17,7 juta orang mengalami kelaparan dan lebih dari 123 juta jiwa tidak mampu mengakses pangan bergizi,” ungkap Marthin.
Solusi Reforma Agraria
Marthin juga menekankan bahwa jalan keluar bukanlah mega proyek baru, melainkan reforma agraria yang melibatkan petani kecil dan masyarakat adat sebagai produsen pangan utama. Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan bahwa pangan adalah hak asasi manusia yang wajib dipenuhi negara. Ia menyoroti bahwa proyek food estate maupun MBG sering kali mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi, bahkan membuka ruang pelanggaran baru.