Dapurremaja.com | Opini
Tahun 1921 (yang sudah lama banget) W. Adolphe Robets (1886-1962) menulis sebuah artikel “Whay I Rejected Ten Thousand Manuscripts” seorang jurnalis, peminat sejarah, penulis puisi dan editor dari Jamaika, memberikan batasan agar tulisan tidak berakhir di tong sampah. Maksud tong sampah sudah bisa dipahami bahwa dulu tulisan tidak dalam bentuk digital, jadi kalau tidak dibutuhkan maka ya dibuang di tong sampah betulan. Sementara di masa digital saat ini masih bergambar tong sama namun bermakna delet atau hilangkan/hapus alias buang.
Beberapa batasan tersebut dijelaskan dalam beberapa paragraf berikut:
Pertama, meskipun suatu karya layak dibaca, namun isinya tidak sesuai dengan karakter penerbit buku atau media calon pembuat karangan penulis. Setiap penerbit buku atau portal media memiliki editor yang bertugas mewakili kepentingan pembaca dan pemilik penerbitan. Editor mewakili pembaca karena tanpa pembaca maka sebuah tulisan hanya akan diabaikan. Sementara editor mewakili kepentingan penerbit karena setiap penerbit memikirkan kelangsungan hidupnya, istilahnya “dapur harus tetap ngebul”. Tips untuk para penulis; perhatikan ciri-ciri tulisan yang telah diterbitkan oleh penerbit tersebut. Dengan membaca karya yang sudah diterbitkan setidaknya penulis mengetahui keinginan editor. Beda lagi kalau menulis hanya untuk koleksi pribadi dan tidak ingin diterbitkan.
Kedua, dan ini kerap menjadi perhatian oleh penerbit dan editor adalah isi cerita menyerupai dalam hal tema, plot, maupun situasi di sejumlah cerita yang belakangan sudah diterbitkan tempat editor bekerja. Hal ini tidak terkait dengan plagiarisme, melainkan lebih mengenai variasi karya terbitan sebuah penerbit. Tapi plagiarisme tetap bisa menjadi alasan utama membuang sebuah karya ke tong sampah. Artinya, penulis perlu melihat karya terbaru yang diterbitkan oleh penerbit atau portal media tersebut. Tanpa melihat karya terbaru kemungkinan besar karya serupa telah diterbitkan sebelumnya, yang akhirnya dibuang oleh editor.
Ketiga, karya terlalu panjang atau terlalu pendek. Pun isi karya terlalu bertele-tele. Untuk jumlah kata dalam sebuah karya, setiap penerbit biasanya memiliki ketentuan berbeda. Contoh nyata, cerita pendek berkisar 2500 kata untuk satu karya. Sementara cerpen yang dikirim hanya 800 kata, editor akan kebingungan menambahkan cerita dan itu bukan tugas editor. Sebaliknya tulisan cerpen dengan 3500 kata editor akan terbebani jika harus memangkas 1000 kata agar masuk dalam kriteria naskah laik muat. Demikian pula dengan naskah yang penyampainya bertele-tele atau berputar-putar maka akan membuat editor tidak segan melempar naskah tersebut ke tong sampah.
Keempat, karakter, plot, dan atmosfer sebuah karya lemah. Faktor yang paling penting dalam sebuah cerita adalah karakter, yakni orang-orang harus tampak nyata dan hidup. Plot juga perlu menarik dan suasana tempat dalam kisah betul-betul penting untuk ditampilkan. Karya yang lemah membuat bosan pembacanya, boleh jadi menjadi kapok untuk membaca karya hasil penerbit atau portal media yang memuatnya. Sebab itu karya yang lemah berpotensi menurunkan citra penerbit dan tidak seharusnya naskah seperti itu diterbitkan. Lagi-lagi bernasib naas terjerembab di tong sampah.
Kelima, karya berisi propaganda. Karya seperti ini lebih dikenal sebagai karya pamflet. Para penerbit menghindari karya seperti ini karena menimbulkan kontroversi dan berpotensi memercik keresahan bagi pembacanya. Sebab itu penulis perlu cerdik menyampaikan pesan dengan latar belakang yang diterima oleh khalayak. Karya tendensi propaganda tak akan ditimbang oleh editor dan segera disingkirkan ke tong sampah.
Keenam, karya ditulis sembarangan dan bahasa tak tertata rapi. Jadi, selain memperhatikan kualitas narasi dalam cerita, editor juga akan mempertimbangkan kisah-kisah yang ditulis dengan baik. Para penulis yang baik mengasah kemampuan berbahasanya sebagai instrumen utama dalam menulis. Keterampilan bahasa ini sangat penting karena menjamin ketercapaian penyampaian pesan melalui tulisan. Kelebihan dan kekurangan huruf akan berakibat fatal pada makna. Contohnya akan menuliskan lema “ketika” namun ditulis “ketiak” sangat jauh maknanya, padahal cuma pindah tempat huruf. Mungkin satu dua kesalahan masih bisa dimaafkan oleh editor, tetapi kalau sudah tersebar di setiap pojokan maka saatnya untuk terjun bebas ke tong sampah.
Para penulis yang tangguh tidak akan takut karyanya dibuang di tong sampah. Bahkan karya yang dibuang di tong sampah kerap menunjukkan seberapa gigih dalam menulis. Jika sekali saja karya sudah ditolak kemudian memble maka penulis tersebut layak bangkit kembali dari kecengengan. Pada hakekatnya dari karya yang ditolak, penulis dapat belajar dari kesalahan. Pengalaman yang terbaik adalah belajar dari kesalahan. Penulis sekaliber J.K Rowling pun karyanya pernah di-reject. Jadi jangan takut kalau karyanya dibuang di tong sampah.